*📜🗞 SEJARAH LAHIRNYA TAHLILAN DALAM UPACARA KEMATIAN, KHUSUSNYA DI TANAH JAWA, INDONESIA.*
Oleh: *_Sangadji EM_*
_(Tulisan ini tidak bertujuan untuk menohok pihak tertentu, tapi sebagai kajian ilmu agar kita paham sejarah lahirnya upacara tahilan.)_
Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan Islam di Pulau Jawa adalah para ulama/mubaligh yang berjumlah sembilan, yang populer dengan sebuatan _Wali Songo._ Atas perjuangan mereka, berhasil mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat di _Demak, Jawa Tengah._
Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama _Hindu dan Budha_ mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam.
Para ulama yang sembilan _(Wali Songo)_ dalam menanggulangi masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu _*ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN.*_
_*ALIRAN GIRI*_ adalah suatu aliran yang dipimpin oleh _Raden Paku (Sunan Giri)_ dengan para pendukung _Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain._
Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran _Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme_.
Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari'at Islam tanpa reserve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut _*ISLAM PUTIH.*_
Adapun *_ALIRAN TUBAN_* adalah suatu aliran yang dipimpin oleh _R.M. Syahid (Sunan Kalijaga)_ yang didukung oleh _Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati._
Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam. Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syari'at Islam. Maka para wali aliran Tuban berusaha agar adat istiadat _Budha, Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai keislaman._
Karena _moderatnya_ aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut aliran _Giri yang "radikal"._ Aliran ini sangat disorot oleh _Aliran Giri_ karena dituduh mencampur adukan syari'at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran *_ISLAM ABANGAN_*
Dengan ajaran agama Hindu yang terdapat dalam _Kitab Brahmana_. Sebuah kitab yang isinya mengatur _tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut_ _*Yajna Besar dan Yajna Kecil.*_
*Yajna Besar* dibagi menjadi dua bagian yaitu _Hafiryayajna dan Somayjna._
1. _Somayjna_ adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun,
2. _Hafiryayajna_ untuk semua orang.
*Hafiryayajna* terbagi menjadi empat bagian yaitu : _Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain._
Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah *upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.*
*Dalam upacara _Pinda Pitre Yajna,_ ada suatu keyakinan bahwa _manusia setelah mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si fulan menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya._*
*Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan _aghnideya,_ yaitu _me
nyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si fulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan._*
*✨Musyawarah Para Wali✨*
Pada masa para wali dibawah pimpinan _Sunan Ampel_, pernah diadakan musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi orang yang telah masuk Islam.
Dalam musyawarah tersebut _Sunan Kali Jaga_ selaku Ketua _aliran Tuban_ mengusulkan kepada majlis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit dibuang, termasuk didalamnya upacara _Pinda Pitre Yajna_ dimasuki unsur keislaman.
Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan lain-lainnya sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Mendengar usulan _Sunan Kali Jaga_ yang penuh diplomatis itu, _Sunan Ampel_ selaku penghulu para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
*"Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian hari, bahwa adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid'ah"?*
Pertanyaan _Sunan Ampel_ tersebut kemudian dijawab oleh _Sunan Kudus_ sebagai berikut :
*"Saya sangat setuju dengan pendapat Sunan Kali Jaga"*
Sekalipun _Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat_ sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan _Sunan Kali Jaga,_ maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. *Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam _agama Hindu_ yang bernama _Pinda Pitre Yajna_ dilestarikan oleh orang-orang Islam _aliran Tuban_ yang kemudian dikenal dengan nama _nelung dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu._*
Dari akibat lunaknya _aliran Tuban,_ maka bukan saja upacara seperti itu yang berkembang subur, akan tetapi _keyakinan animisme dan dinamisme serta upacara-upacara adat lain_ ikut berkembang subur. Maka dari itu tidaklah heran muridnya _Sunan Kali Jaga_ sendiri yang bernama _Syekh Siti Jenar_ merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk _mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam._
Dari hasil olahannya, maka lahir suatu _ajaran klenik/aliran kepercayaan yang berbau Islam._ Dan tumbuhlah apa yang disebut *"Manunggaling Kaula Gusti"* yang artinya *Tuhan menyatu dengan tubuhku.* Maka tatacara untuk mendekatkan diri kepada _Allah ta'ala lewat shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah dilakukan._
Sekalipun _Syekh Siti Jenar_ berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya yang cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang.
Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. Para Ulama _aliran Giri_ yang terus mempengaruhi para raja Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan _syari'at Islam_ yang murni mendapat kecaman dan ancaman dari para _raja Islam_ pada waktu itu, karena raja-raja Islam mayoritas menganut _aliran Tuban._ Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di _Demak_ berusaha dipindahkan ke _Pajang_ agar terlepas dari pengaruh para ulama _aliran Giri._
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja _Amangkurat I,_ para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan _Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama_.
Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama _aliran Giri_ itu, maka _Trunojoyo, Santri Giri_ berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang _Amangkurat I_ yang keparat itu.
Pada masa kerajaan dipegang oleh _Amangkurat II_ sebagai pengganti ayahnya, ia membalas dendam terhadap _Truno Joyo_ yang menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan *VOC* menyerang _Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh
habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula._
*Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen.*
Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama yang _lunak (moderat)_ yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada. maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam, terutama *_upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian._*
Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama _Pinda Pitre Yajna._
Baru pada _tahun 1912 M,_ muncul seorang ulama di _Yogyakarta_ bernama _K.H. Ahmad Dahlan_ yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu _Al Qur'an dan As Sunnah_, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari _Al Qur'an dan Al Hadits,_ dimana-mana merajalela perbuatan _khurafat dan bid'ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional._
Munculnya _K.H. Ahmad Dahlan_ bukan saja berusaha mengikis habis segala adat _istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam,_ akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain.
Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang beberapa adat _istiadat Budha dan Hindu_ yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama _aliran Tuban_ dahulu, yang antara lain _upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu._
Pada _tahun 1926_ para _ulama Indonesia bangkit_ dengan didirikannya organisasi yang diberi nama *_"Nahdhatul Ulama"_* yang disingkat *NU.*
Pada _Muktamarnya di Makassar, *NU*_ mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain :
*"Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan _bacaan tahlil_ yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat".*
Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang *NU.* Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan _bacaan tahlil,_ termasuk _acara kematian._ *Mulai saat itulah secara lambat laun _upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang._*
Sesuai dengan sejarah lahirnya _Tahlilan dalam upacara kematian,_ maka istilah _Tahlilan dalam upacara kematian_ hanya dikenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini. Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa saja.
Apalagi di negara-negara lain seperti _Arab, Mesir, dan negara-negara lainnnya diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal _upacara tahlilan_ dalam kematian ini.
*Dengan sudah mengetahui _sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian_ yang terurai diatas, maka kita tidak akan lagi mengatakan bahwa _upacara kematian adalah ajaran Islam,_ bahkan kita akan bisa mengatakan bahwa orang yang tidak mau membuang upacara tersebut berarti _melestarikan salah satu ajaran agama Hindu._ Orang-orang _Hindu_ sama sekali tidak mau melestarikan _ajaran Islam,_ bahkan tidak mau _kepercikan ajaran Islam sedikitpun_.
*Tetapi kenapa kita orang Islam justru melestarikan keyakinan dan ajaran mereka?*
Tak cukupkah bagi kita _Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam_ yg sudah jelas terang benderang saja yang kita kerjakan. Kenapa harus ditambah-tambahin/mengada-ada. Mereka beranggapan ajaran _Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam_ masih kurang sempurna.
Mudah-mudahan setelah kita tahu _sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian,_ kita mau membuka hati untuk menerima kebenaran yang hakiki dan kita mudah-mudahan akan menjadi orang Islam yang konsekwen terhadap ajaran _Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya._
*📚 Daftar Literatur :*
*_1. K.H. Saifud
din Zuhn_*
[Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Al Ma'arif Bandung 1979]
*2. Umar Hasyim,*
[Sunan Giri, Menara Kudus 1979]
*3. Solihin Salam,*
[Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus 1974]
*4. Drs. Abu Ahmadi,*
[Perbandingan Agama, Ab.Siti Syamsiyah Solo 1977]
*5. Soekmono,*
[Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Tri Karya, Jakarta 1961]
*6. A. Hasan*
[Soal Jawab,Diponegoro Bandung 1975]
*6. Hasil wawancara dengan tokoh Agama Hindu.*
Reposted by : 👥 Grup wa manhaj salaf
_*Semoga Manfa'at*_
0 comments:
Post a Comment